Translate

Rabu, Desember 09, 2009

Doa untuk Sekeranjang Tempe

Monday, 07 July 2008

Kafemuslimah.com

Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, hiduplah seorang ibu penjual tempe . Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang. "Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya. .." demikian dia selalu memaknai hidupnya.

Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe , dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi, deg! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang, sebagian berderai, belum disatukan ikatan- ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang, untuk akan, dan modal membeli kacang, yang akan dia olah kembali menjadi tempe .

Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. "Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe . Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku..."

Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya. Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe . Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung.

Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe . Dan... dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacangnya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang "memproses" doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. "Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau maha tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe . Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku..."
Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe . Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan... belum jadi. Kacang itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang tersebut. "Keajaiban Tuhan akan datang... pasti," yakinnya. Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, "tangan" Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa... berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya. Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu. "Pasti sekarang telah jadi tempe !" batinnya.

Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan... dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi. Kecewa, aitmata menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.

Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar...merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku, batinnya. Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan... esok dia pun tak akan dapat makan. Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan "teman-temannya" sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat...

Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya. "Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya??" Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan tangan. "Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe ..."
Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. "jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe ..." "Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?" tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi. "Duh Gusti... bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?" ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat, pembaca?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi! "Alhamdulillah! " pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. "Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?" "Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Sulhanuddin, yang kuliah S2 di Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi,saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Ohh ya, jadi semuanya berapa, Bu?"

Pembaca, ini kisah yang biasa bukan? Dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa, dan "memaksakan" Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa. padahal, Allah paling tahu apa yang paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencananya adalah sangat sempurna. Kisah sederhana yang menarik, karena seringkali kita pun mengalami hal yg serupa.
Di saat kita tidak memahami ada hikmah di balik semua skenario yg Allah SWT takdirkan.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (QS. Al Baqarah 216)

Selasa, Desember 08, 2009

Surah Al Maa'un Ayat satu, Kita-kah ?

Diantara rintik hujan yang mengantar senja ke tempat peristirahatannya , semilir angin berhembus menerpa wajah-wajah letih di jalanan membuat orang enggan untuk keluar rumah. Genangan-genangan air mulai muncul di jalan-jalan beraspal yang tidak lama lagi akan memantulkan cahaya lampu-lampu jalan menandakan malam segera datang. Disudut jalan seorang anak kecil masih asyik memainkan mobil-mobilan bekas yang di perolehnya tadi siang dari tempat sampah. Ibunya masih tertidur disampingnya, atap-atap lebar rumah dan lebatnya pohon melindungi mereka dari sapuan air hujan, di sudut lain tampak beberapa pengemis dan pemulung juga mulai merebahkan diri. " Allahu Akbar...Allahu Akbar" kumandang adzan maghrib terdengar saling bersautan dari corong-corong spiker masjid, suarayang mengajak orang menemui Sang khaliq penciptanya.

" Bu..bu..itu udah adzan mau sholat gak?" teriak anaknya membangunkan sang ibu, tapi ibunya masih terus tertidur. Anak itu diam , lalu kemudian meneruskan bermain mobil-mobilan. Setelah hampir setengah jam asyik bermain , anak tersebut kembali membangunkan ibunya " Bu....bu..., ...ibu gak sholat...... bangun dong bu.....angga lapar nih !!" teriak anaknya, tapi ibunya masih tetap tertidur, tidak bergeming sedikitpun. Karena keletihan membangunkan ibunya tetapi tidak ada hasil anak itu kemudian tertidur disamping ibunya. Anak itu berusia lima tahun dengan badan kurus dan lusuh, sedangkan ibunya berusia sekitar tiga puluh tahun dengan wajah kurus pucat seperti orang sakit keras. Tidak beberapa lama adzan Isya berkumandang. Hujan semakin deras, jalanan tampak sepi, Anak itu terbangun sambil meringis karena merasa lapar. Dia bangun lalu berlari kearah masjid di seberang jalan, kemudian menengadahkan tangan kepada jama'ah masjid yang hendak melaksanakan sholat. Anak itu telah terbiasa mengemis di depan masjid dan di persimpangan jalan, tetapi malam itu tidak satupun jama'ah yang memberikannya uang. Dia terus meringis menahan sakit perut yang belum terisi sejak pagi karena ketika siang hari ibu nya muntah-muntah lalu kemudian tidur dan belum bangun sampai malam itu.

" Aro'aitalladzi yukajjibu biddin, fadza likalladzi ya du'uul yatim wa la yaa khuddu 'alaa thoo 'amil miskin" terdengar suara imam membaca surat Al Maa'un dari dalam masjid tentang para pendusta agama. Semua jama'ah hafal ayat itu tapi sama seperti nasib anak di luar masjid itu surah Al Maa'un tersebut terlantar di sudut ingatan. " Iqra !" kata malaikat jibril kepada Muhammad SAW, tidak ada kitab disana , Rasulullah SAW pun tidak bisa membaca, lalu apa yang mesti di baca ? " Iqra bismirabbikalladzi khalaq" bacalah dengan menyebut nama Tuhan Sang Maha Pencipta, surah itu seperti berteriak kepada kita "bacalah sekelilingmu, bacalah keadaan lingkunganmu, baca dan berkacalah pada alam semesta dan tunjukan kepedulianmu" dan kita hanya tertunduk sambil terus membolak-balik kitab suci.

Anak itu belari kembali kepada ibunya sambil menangis menahan sakit, tubuhnya basah oleh air hujan, air yang bagi mahluk lain menjadi rahmat, tetapi baginya menjadi seperti sapaan Tuhan terakhir kepadanya, dia tertidur sambil memegang perut didada ibunya. Kedua ibu dan anak itu pada pagi harinya di ketemukan warga telah meninggal dunia, meninggalkan derita yang dideranya , meninggalkan para pendusta agama yang tidak pernah mau menyapanya.

Ketika malam nanti hujan menghampiri kita, disaat kita berkumpul bersama keluarga dan merasakan kehangatan, maka sesekali ambillah payung lalu keluar rumahlah, carilah rintihan disudut-sudut jalan, di halte-halte bis , sapalah mereka , redakan ketakutan di hati mereka berbagilah sedikit. Jika kokohnya rumah kita masih membuat takut anak anak kita ketika mendengar halilintar , lalu bagaimana dengan teriakan anak-anak tanpa atap tersebut, siapa tahu senyuman kita mampu mengusir galau dan resah di hati mereka lalu perlahan-lahan bisa melunturkan stempel pendusta agama di kening kita